Waspada terhadap aktivitas vulkanis
Gunung Merapi
Then return to Indonesia. This is
called the Ring of Fire. Most of the world's earthquakes and volcanoes happen
here. Many Indonesian islands were once volcanoes. The country has more than 125 volcanoes that
still erupt. ( robin lim, 2010:9)
Dalam buku Robin Lim di atas, maka
dapat kita ketahui bahwa Indonesia
temasuk ke dalam daerah Ring
of Fire.
Yang artinya sebagian besar gempa bumi di dunia dan gunung berapi
terjadi di sini. Banyak pulau-pulau yang ada di Indonesia dulunya gunung berapi
dan Indonesia memiliki lebih dari
125 gunung berapi yang masih meletus.
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m
dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan
salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam
administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada
dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,
Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi
tenggara
Berikut ini kronologi kejadian
erupsi Merapi tahun 2010 : Peningkatan status dari "normal aktif"
menjadi "waspada" pada tanggal 20 September 2010 direkomendasi oleh
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta.
Setelah sekitar satu bulan, pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi
"siaga" sejak pukul 18.00 WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian
sudah harus dipersiapkan. Karena aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan
dengan tingginya frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul
06.00 WIB tangggal 25 Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status
Gunung Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius
10 km dari puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.
Erupsi pertama terjadi sekitar
pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober. Sedikitnya terjadi hingga tiga kali
letusan. Letusan menyemburkan material vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km
dan disertai keluarnya awan panas yang menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo,
Kecamatan Cangkringan, Sleman dan menelan korban 43 orang, ditambah seorang
bayi dari Magelang yang tewas karena gangguan pernapasan. Sejak saat itu mulai
terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai 28 Oktober, Gunung
Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir bersamaan dengan keluarnya awan
panas pada pukul 19.54 WIB. Selanjutnya mulai teramati titik api diam di puncak
pada tanggal 1 November, menandai fase baru bahwa magma telah mencapai lubang
kawah.
Namun demikian, berbeda dari
karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi pembentukan kubah lava baru, malah
yang terjadi adalah peningkatan aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3
November. Erupsi eksplosif berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4
November 2010, menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke
berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari
terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai
puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Menjelang tengah malam, radius
bahaya untuk semua tempat diperbesar menjadi 20 km dari puncak. Rangkaian
letusan ini serta suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar
27 km dari puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km). Letusan kuat 5 November diikuti oleh
aktivitas tinggi selama sekitar seminggu, sebelum kemudian terjadi sedikit
penurunan aktivitas, namun status keamanan tetap "Awas". Pada tanggal
15 November 2010 batas radius bahaya untuk Kabupaten Magelang dikurangi menjadi
15 km dan untuk dua kabupaten Jawa Tengah lainnya menjadi 10 km.[1]
Dari kronologi meletusnya gunung
merapi tahun 2010, seharusnya penduduk di lereng Merapi dapat mengambil
pengalaman berharga dari fenomena alam tersebut. Karena fenomena alam itu tidak
bisa di prediksi, maka akan lebih baik jika mereka meningkatkan kewaspadaan
dalam menghadapi fenomena alam seperti ini.
Jika dilihat dari segi agama, maka bencana letusan Gunung Merapi di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang menelan banyak korban jiwa adalah merupakan ketetapan
dari Tuhan atau sering kita sebut dengan takdir. Akan tetapi, jika dilihat dari
segi kenyataan atau realitas munculnya bencana yang menelan banyak korban jiwa
tersebut tidak bisa dipisahkan dari tingkah laku atau sikap manusia itu sendiri
dalam menghadapi situasi seperti ini. Padahal apabila para masyarakat mau
mentaati instruksi dari pemerintah untuk segera mengungsi, maka jumlah jatuhnya
korban jiwa dapat di minimalisir. Peran pemerintah pada situasi seperti ini
juga sangat besar, seharusnya pemerintah mampu untuk meyakinkan masyarakat di
lereng Merapi untuk segera mengungsi. Dan pemerintah juga harus menyiapkan
lokasi pengungsian yang aman dan layak bagi penduduk serta harus dilengkapi
dengan kebutuhan makanan dan obat-obatan.
Dari sudut pandang geografi,
seharusnya pemerintah dan masyarakat dapat menanggulangi musibah tersebut
supaya dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa, misalnya dengan mengetahui
tanda-tanda gunung merapi akan meletus (seperti meningkatnya suhu di sekitar
gunung merapi, dll), selain mengetahui tanda-tanda, masyarakat juga harus
mempersiapkan lokasi yang aman untuk mengungsi, supaya jika sewaktu-waktu
terjadi bencana, mereka dapat langsung menuju lokasi tersebut. Kemudian jika
masyarakat sudah mengetahui bahwa gunung akan meletus maka segeralah menuju
tempat pengungsian tersebut.
Adapun jika gunung berapi sudah
terlanjur meletus, maka yang dapat masyarakat lakukan adalah menghindari daerah
yang rawan bencana, seperti lereng, lembah, dan daerah aliran lahar. Untuk itu,
masyarakat harus sudah mengetahui atau memahami peta kawasan rawan gunung api
yang biasanya di terbitkan oleh instansi yang berwenang. Dan jangan lupa untuk
selalu melindungi tubuh dari debu vulkanis dengan pakaian tertutup, masker, dan
kacamata. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah selalu meningkatkan kewaspadaan.
Referensi :
Lim, Robin. 2010. Indonesia. Minneapolis: Lerner
http://id.wikipedia.org/wiki/Gunung_Merapi
diakses hari sabtu 5 oktober 2012 pukul 05:39
·
Rangkaian
kejadian/ fenomena letusan Gunung Merapi berdasarkan :
a. Ruang Lingkup Geografi
Meningkatnya aktivitas
vulkanis Gn. Merapi yang terletak di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada tanggal 20
september - 15 November 2010 yang disertai dengan beberapa kali erupsi hingga
menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Menurut Kompas.com Secara keseluruhan telah
tercatat 198 korban jiwa. Namun RSUP Dr. Sardjito pun mencatat masih ada 257
orang yang dinyatakan hilang. Dengan asumsi mereka turut jadi korban jiwa, maka
total korban yang direnggut letusan Merapi 2010 ini mencapai 450-an, terbesar
dalam 80 tahun terakhir.
Dari kejadian tersebut, seharusnya
pemerintah melakukan evakuasi total dan tidak bisa menawar lagi jika masih ada
warga yang ingin bertahan di tempat tinggal mereka. Dan masyarakat juga tidak
boleh menyepelekan status “awas” gunung Merapi ini. Ada sebagian yang mau
dievakuasi, akan tetapi banyak juga yang menolak. Seharusnya pemerintah tidak
hanya menginstruksikan masyarakat untuk mengungsi saja, akan tetapi pemerintah
juga harus menyediakan sarana dan prasarana yang layak dan nyaman di pengungsian.
Dari pernyataan tersebut, karena periode letusan gunung Merapi adalah 3-5 tahun
sekali, maka diharapkan untuk erupsi-erupsi merapi selanjutnya dapat lebih
diwaspadai dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan, atau mungkin dihilangkan.
b. Prinsip-prinsip Geografi yang
digunakan
Untuk menganalisa fenomena ini
prinsip geografi yang dapat digunakan adalah prinsip korologi. Karena prinsip
korologi merupakan fenomena alam dan manusia yang dikaji penyebarannya,
interelasinya, dan interaksinya dalam satu ruang. Dalam hal ini, interelasi
antara fenomena alam erupsi Gunung Merapi dan pola persebaran masyarakat di
lereng Merapi yang cukup padat. Hal itu dikarenakan daerah lereng Merapi yang
subur sehingga mayoritas masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani dan
peternak yang memanfaaatkan lahan subur di sekitar Merapi tersebut. Akan tetapi,
penduduk di sekitar Gunung Merapi juga harus menyadari bahwa dalam hidup
berdampingan dengan salah satu gunung teraktif di Indonesia ini harus waspada.
Mereka harus tahu bahwa bahaya selalu mengancam mereka. Karena daerah sekitar
Merapi rentan akan resiko yang ditimbulkan jika Merapi mengalami erupsi, baik
itu resiko korban jiwa, harta, maupun penurunan mental.
c. Pendekatan yang cocok untuk
menganalisa fenomena letusan gunung merapi tersebut adalah dengan menggunakan
pendekatan keruangan (spasial)
Seperti yang kita ketahui
bahwa populasi penduduk di lereng Merapi cukup padat, maka penduduk di daerah
ini sangat rentan terhadap bahaya erupsi merapi. Jatuhnya korban jiwa akibat
erupsi merapi tahun 2010 kemarin, harus diakui menjadi pembelajaran bagi
pemerintah dan masyarakat. Saya merasa masyarakat tidak menaati instruksi
pemerintah yang memberikan status “Awas” terhadap aktivitas vulkanis Gunung
Merapi saat itu. Di pihak lain pemerintah di nilai lambat dalam melakukan
penegasan terhadap proses evakuasi. Pemerintah juga seharusnya segera
mengumumkan tanggap darurat bencana begitu status “Awas” terhadap Gunung Merapi
terjadi. Itulah mengapa pengumuman tanggap darurat sangat diperlukan dalam
penanganan bencana. Fenomena erupsi Merapi 2010 seharusnya menjadi evaluasi
bagi semua pihak agar tak mengesampingkan status “Awas” dalam suatu aktivitas
vulkanis Gunung Berapi.
d. Dari pengkajian kejadian tersebut,
maka akan menghasilkan konsep yang bermanfaat bagi kehidupan, yaitu konsep
keterkaitan keruangan.
Keterkaitan antara fenomena
erupsi gunung Merapi dengan jatuhnya korban jiwa akibat erupsi tersebut merupakan
suatu keterkaitan keruangan. Penduduk yang memilih tempat tinggal di daerah
sekitar Merapi, karena daerah di sekitar Merapi memiliki lahan subur yang
melebihi daerah lain, akan tetapi di samping itu Merapi juga menyimpan bahaya
yang sewaktu-waktu dapat mengancam mereka. Dari hal tersebut, seharusnya
penduduk menyadari bahwa meskipun kita tidak dapat mencegah bencana alam namun
kita dapat memperkirakan waktu dan tempat bencana alam terjadi, sehingga
kerugian bagi manusia dapat dikurangi. Selain itu mempelajari geografi berarti
mempelajari keadaan wilayah, sehingga pemahaman kita terhadap keadaan wilayah
sekitar Gunung Merapi diperlukan agar
dapat mengolah sumber daya alam yang ada dan mewaspadai jika terjadi suatu
bencana alam. Khusus bagi penduduk sekitar merapi, mereka harus memahami peta kawasan rawan gunung api yang biasanya
di terbitkan oleh instansi yang berwenang, sehingga mereka tahu di mana tempat
yang aman bagi mereka ketika terjadi bahaya.
No comments:
Post a Comment